CianjurNewsFlash (CNF) - Sidang
lanjutan mamin gate yang digelar di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di
Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Rabu (16/1/2013) siang kembali
mengungkap fakta baru. Dalam fakta persidangan tersebut terungkap bahwa
Bupati Cianjur Tjetjep Muhtar Soleh setiap bulannya terbukti menerima
uang tunai Rp 100 juta dari Bagian Keuangan yang diambil dari pos
belanja perjalanan dinas Kepala Daerah dan Wakil Kelapa Daerah tanpa
dilengkapi alat bukti yang sah.
Bupati
juga disinyalir mengambil anggaran perjalanan dinas yang merupakan hak
dari Wakil Bupati Dadang Sufianto, karena anggaran untuk perjalanan
dinas setiap tahunnya sebesar Rp 1,2 miliar.
Sidang
yang dipimpin Setyabudhi Tedjocahjono itu beragendakan kesaksian dari
terdakwa Edi Iryana (mantan Kabag Keuangan, Kuasa Pengguna Anggaran, dan
Bendahara Umum Daerah Cianjur tahun 2007 s/d 2008).
"Dalam
satu tahun anggaran perjalanan dinas pimpinan sebesar Rp 1,2 miliar.
Dan setiap bulannya Rp 100 juta saya berikan secara tunai kepada
Bupati,” ujar Edi dihadapan majelis hakim.
Terdakwa
Edi juga menuturkan, dalam kapasitasnya sebagai KPA dan BUD, dia
mencairkan uang spj untuk Bupati Cianjur sebesar Rp 100 juta per bulan.
Di luar itu, ada anggaran non urusan yang nilainya mencapai Rp 88 juta
per bulan.
"Artinya,
seluruh uang spj itu untuk bupati kan? Lalu untuk wakil kepala daerah
apa? Pernahkah Anda menandatangani pengeluaran spj untuk wakil kepala
daerah?" kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahman Firdaus kepada
terdakwa Edi.
Edi
pun menjawab jika dia pernah menandatangani pencairan spj untuk wakil
kepala daerah. Namun mengenai asal muasal dana itu, Edi tidak bisa
menjawab dengan detil.
Jaksa pun bingung karena berdasarkan data yang ada, seluruh dana spj diambil bupati yang pemberiannya berbarengan dana non urusan (Rp 88 juta) dan gaji bupati. Totalnya, dalam sebulan bupati menerima uang lebih dari Rp 200 juta per bulan.
Jaksa pun bingung karena berdasarkan data yang ada, seluruh dana spj diambil bupati yang pemberiannya berbarengan dana non urusan (Rp 88 juta) dan gaji bupati. Totalnya, dalam sebulan bupati menerima uang lebih dari Rp 200 juta per bulan.
"Kalau
ada untuk wakil kepala daerah, lalu dananya dari mana jika semua spj
diberikan kepada kepala daerah?" tanya Rahman lagi. Edi menuturkan,
memang ada kekurangan anggaran. Itu sebabnya dia berkonsultasi kepada
beberapa orang di Badan Pemeriksa Keuangan untuk mencari solusi menutup
kekurangan tersebut.
"Di
BPK, saya konsultasi dengan Pak Darmawan dan Pak Dedi. Mereka
mengatakan, untuk menutupi kekurangan-kekurangan biaya seperti uang
makan, minum, dan lainnya, solusinya bisa memakai SPK (surat perintah
kerja-red.) yang lain," ucap Edi.
Jaksa
lainnya, Irra Zurna, tertarik dengan istilah Edi soal "SPK yang lain".
"SPK yang lain itu maksudnya SPK yang dibuat-buat? Artinya SPK fiktif?
Coba Anda jelaskan tentang SPK yang lain itu," kata Irra.
Namun
Edi enggan menjawab pertanyaan Irra tersebut. "Itu istilah orang-orang
BPK. Solusi untuk menutupi kekurangan. Saya enggan berpendapat apa makna
SPK yang lain," ucapnya.
Dalam
kesempatan itu, Edi menuturkan, dana spj adalah hak Bupati. Itu diatur
dalam SK Bupati No. 841.5/kep.01A-keu/2005 tentang pemberian uang
representasi untuk perjalanan dinas bupati/wakil bupati.
"Rinciannya,
dana perjalanan dinas keluar daerah untuk akomodasi atau transportasi
adalah Rp 3,665 juta per kegiatan. Lalu representasi Rp 3 juta per
kegiatan," ujarnya.
Sesuai aturan hukum, untuk mengeluarkan dana spj itu, ada syarat-syarat mutlak yang mesti dipenuhi sebelum dananya cair. Beberapa tahapan yang mesti dilalui yaitu telah ada SPM (surat perintah membayar) dalam rangka menerbitkan SPPD (Surat Perintah Pengeluaran Dana).
Sesuai aturan hukum, untuk mengeluarkan dana spj itu, ada syarat-syarat mutlak yang mesti dipenuhi sebelum dananya cair. Beberapa tahapan yang mesti dilalui yaitu telah ada SPM (surat perintah membayar) dalam rangka menerbitkan SPPD (Surat Perintah Pengeluaran Dana).
"Agar
SPPD terbit, maka SPM harus dilengkapi nota serta bukti-bukti yang sah
seperti bukti visum kehadiran. Apakah itu ada," tanya Rahman.
Edi sempat menjawab berbelit-belit. Setelah digertak jaksa dan hakim, Edi pun akhirnya menjawab. "Saya lupa. Yang pasti, kata BPK, untuk bupati, buktinya cukup kuitansi spj yang ditandatangani bupati dan jadual kegiatan bupati yang sesuai spj itu. Tidak perlu bukti visum," katanya singkat.
Edi sempat menjawab berbelit-belit. Setelah digertak jaksa dan hakim, Edi pun akhirnya menjawab. "Saya lupa. Yang pasti, kata BPK, untuk bupati, buktinya cukup kuitansi spj yang ditandatangani bupati dan jadual kegiatan bupati yang sesuai spj itu. Tidak perlu bukti visum," katanya singkat.
Jaksa
hanya manggut-manggut dan mencatat pernyataan Edi itu. Padahal, dalam
sidang sebelumnya yang beragendakan saksi ahli dari Kemendagri dan BPK
disebutkan, setiap perjalanan dinas kepala/wakil kepala daerah harus ada
bukti visum.
"Sesuai pernyataan saksi ahli itu, bukti visum merupakan bukti valid jika kepala daerah melakukan perjalanan dinas. Surat itu berisi tanda tangan orang atau institusi yang menerima kehadiran bupati. Termasuk tanggal kapan dia datang dan dia pergi. Itu harus ada," ucap Rahman.
"Sesuai pernyataan saksi ahli itu, bukti visum merupakan bukti valid jika kepala daerah melakukan perjalanan dinas. Surat itu berisi tanda tangan orang atau institusi yang menerima kehadiran bupati. Termasuk tanggal kapan dia datang dan dia pergi. Itu harus ada," ucap Rahman.
Tanpa
bukti visum itu, maka bisa hampir dipastikan perjalanan dinas yang
tercatat adalah fiktif. "Di kasus ini, bupati cianjur hanya menyerahkan
54 kuitansi dan jadual. Jadi kalau tidak ada visum, belum tentu dia
kesana."
No comments:
Post a Comment