CianjurNewsFlash (CNF) - Pawai “kuda kosong” yang sejak
dulu digelar pada setiap upacara kenegaraan Cianjur, punya maksud untuk mengenang sejarah perjuangan para Bupati Cianjur
tempo dulu. Saat Cianjur dijabat Bupati R.A. Wira Tanu seorang Dalem Pamoyanan
R.A.A. Wiratanudatar II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil palawija
kepada Sunan Mataram di Jawa Tengah.
Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II yang dianggap sakti
mandragunalah yang rutin ditugaskan untuk menyerahkan upeti tadi. Jenis upeti
adalah sebutir beras, lada, dan sebutir cabai. Sambil menyerahkan tiga butir
hasil palawija itu, Kangjeng Dalem Pamoyanan selalu menyatakan bahwa rakyat
Cianjur miskin hasil pertaniannya. Biar miskin, rakyat Cianjur punya keberanian
besar dalam perjuangan bangsa, sama seperti pedasnya rasa cabai dan lada.
Karena pandai diplomasi, Kangjeng Sunan Mataram memberikan
hadiah seekor kuda kepada Dalem Pamoyanan. Seekor kuda jantan diberikan untuk
sarana angkutan pulang dari Mataram ke Cianjur. Penghargaan besar Sunan Mataram
terhadap Kangjeng Dalem Pamoyanan membuat kebanggan tersendiri bagi rahayat
Cianjur waktu itu.
Jiwa pemberani rakyat Cianjur seperti yang pernah disampaikan
Kangjeng Dalem Pamoyanan kepada Sunan Mataram membuahkan kenyataan. Sekira 50
tahun setelah peristiwa seba itu, ribuan rakyat Cianjur ramai-ramai mengadakan perlawanan
perang gerilya terhadap penjajah Belanda. Dengan kepemimpinan Dalem Cianjur Rd.
Alith Prawatasari, barisan perjuang di setiap desa gencar melawan musuh,
sampai-sampai Pasukan Belanda sempat ngacir ke Batavia (sekarang Jakarta).
“Untuk mengenang perjuangan Kangjeng Dalem Pamoyanan yang pandai
diplomasi itu, setiap diadakan upacara kenegaraan di Cianjur selalu digelar
upacara ‘kuda kosong’. Maksud seni warisan leluhur itu untuk mengenang
perjuangan pendahulu kepada masyarakat Cianjur sekarang,” kata Alith Baginda,
S.H. Ketua II Dewan Kesenian Cianjur (DKC) yang juga menjabat Kasi Kebudayaan
di Dinas Pendidikan Kab. Cianjur.
Ditinjau dari pelestarian
budaya, Alith kurang setuju bila kesenian “kuda kosong” yang menimbulkan
perjuangan itu dihilangkan begitu saja di bumi Cianjur. Bila disorot ada
adegan-adegan yang memang dianggap menyimpang dari akidah keislaman, adegan itulah yang harus ditiadakan. Namun, banyak adegan
yang bagus dari sisi seni budaya, harus tetap dilestarikan.
Alith dan rekan-rekan seniman
Cianjur sering mengadakan pendekatan dengan semua pihak agar aneka seni
tradisional Cianjur yang dulu pernah berjaya agar dihidupkan kembali. Termasuk
seni “kuda kosong” yang sempat dilarang digelar itu. Harapannya agar semua seni budaya warisan leluhur yang telah
hilang itu tetap berkembang di Cianjur.
Tak sedikit seni budaya Cianjur hilang dan terancam mati.
Seperti seni bangkong reang di Kec. Pagelaran, seni tanjidor di Kec. Cilakong,
goong renteng di Kec. Agrabinta, seni rudat di Kec. Kadupandak, dan seni reak
di Kec. Cibeber. Bahkan, seni tembang cianjuran sebagai warisan budaya ciptaan
Kangjeng Raden Aria Adipati Kusumaningrat atau Dalem Pancaniti Bupati Cianjur
(1834-1861) benar-benar hampir terancam kepunahan.
“Saya setuju sekali bila
adegan-adegan mistik seperti menyediakan sesajen di pendopo dan persembahan
kuda untuk ditunggangi Eyang Suryakencana yang kawin dengan jin ditidakan. Yang
penting seni budaya ‘kuda kosong’-nya tetap berjalan,” pinta Alith.
No comments:
Post a Comment